Pages

Minggu, 26 Agustus 2012

Gillgamesh

Gilgames, menurut Daftar raja Sumeria, adalah raja kelima Uruk (Awal Dinasti II, dinasti pertama Uruk), anak laki-laki dari Lugalbanda, yang memerintah sekitar 2650 SM. Menurut legenda, ibundanya adalah Ninsun, (yang kadang-kadang disebut Ramat Ninsun yang juga dikatakan sebagai seorang dewi). Yang membingungkan dalam sejarah Gillgames, dia digambarkan sebagai dewa (2/3) dan manusia(1/3).

Menurut sebuah dokumen lain, yang dikenal sebagai "Sejarah Tummal", Gilgames, dan anak lelakinya Urlugal, membangun kembali tempat penyembahwan dewi Ninlil, yang terletak di Tummal, Nippur. Dalam mitologi Mesopotamia, Gilgames dipuji sebagai makhluk setengah manusia yang mempunyai kekuatan manusia super, yang membangun dinding besar untuk melindungi rakyatnya dari ancaman-ancaman dari luar. Cerita ini dapat dikatakan sebagai ekuivalen dari cerita Yunani tentang Heracles.
.......................................................................

Dalam Epos Gilgames Gilgames dikatakan telah memerintahkan pembangunan tembok-tembok legendaris di Uruk. Sebuah versi alternatifnya mengatakan bahwa Gilgames, menjelang akhir ceritanya, berbual kepada Urshanabi, sang jurumudi bahwa dinding kota itu dibangun oleh Tujuh Orang Bijak. Dalam catatan sejarah, Sargon Agung mengklaim bahwa ia telah menghancurkan dinding-dinding ini untuk membuktikan kekuatan militernya. Para ahli percaya bahwa Epos Gilgames kemungkinan berkaitan dengan cerita Alkitab tentang air bah yang disebutkan dalam Kitab Kejadian.

Potongan-potongan dari sebuah epos yang ditemukan di Me-Turan (Tell Haddad sekarang) mengisahkan bahwa Gilgames dikuburkan di bawah air dari sebuah sungai pada akhir hayatnya. Rakyat Uruk mengalihkan aliran Sungai Eufrat untuk melintasi Uruk dengan maksud menguburkan raja mereka yang telah meninggal di dasar sungai. Pada April 2003, sebuah tim ekspedisi Jerman menemukan apa yang diduga sebagai seluruh kota Uruk - termasuk, tempat yang pernah dialiri Eufrat, tempat peristirahatan terakhir rajanya, Gilgames.

Meskipun tidak ada bukti langsung, kebanyakan ahli tidak menentang pendapat yang menyatakan Gilgames sebagai tokoh historis, khususnya setelah ditemukannya prasasti-prasasti yang mengukuhkan keberadaan historis tokoh-tokoh lainnya yang berkaitan dengannya: raja Enmebaragesi dan Aga dari Kish. Bila Gilgames memang seorang raja historis, ia kemungkinan memerintah sekitar abad ke-26 SM. Beberapa teks Sumeria yang paling awal mengeja namanya sebagai Bilgamesh. Kesulitan-kesulitan awal dalam membaca huruf-huruf cuneiform (huruf paku) menyebabkan Gilgames masuk kembali ke dunia budaya pada 1891 sebagai "Izdubar".

Dalam kebanyakan teks, Gilgames ditulis dengan yakin sebagai dewa (DINGIR) – tetapi tidak ada bukti untuk penyembahan pada masa sezaman, sementara mitos-mitos Sumeria tentang Gilgames menunjukkan bahwa deifikasinya (pendewaan) adalah suatu perkembangan di kemudian hari (berbeda dengan kasus dewa-raja Akkad). Historis atau tidak, Gilgames menjadi tokoh pahlawan legendaries dalam Epos Gilgames.


Gilgamesh Mythology Version


Gilgamesh versi dari Wikipedia


Gilgamesh Fate/Zero Version


Gilgamesh versinya Fate/Zero




Jeanne D'Arc

           Jeanne d'Arc, lahir di Lorraine, Perancis, 6 Januari 1412 – meninggal di Rouen, Normandia, Perancis, 30 Mei 1431 pada umur 19 tahun), (dalam bahasa Inggris: Joan of Arc) adalah pahlawan negara Perancis dan orang suci (santa) dalam agama Katolik. Di Perancis ia dijuluki La Pucelle yang berarti "sang dara" atau "sang perawan". Ia mengaku mendapat suatu pencerahan, yang dipercayainya berasal dari Tuhan, dan menggunakannya untuk membangkitkan semangat pasukan Charles VII untuk merebut kembali bekas wilayah kekuasaan mereka yang dikuasai Inggris dan Burgundi pada masa Perang Seratus Tahun.
......................................................................
Periode sebelum datangnya Jeanne adalah salah satu titik terendah dalam sejarah Perancis. Perang yang berlarut-larut telah menyebabkan kesengsaraan masyarakat, terutama pada bagian utara yang dikuasai oleh Inggris. Ada kemungkinan besar bahwa Perancis akan bergabung dengan Inggris sebagai "Dual Monarchy" di bawah pemerintahan raja Inggris. Ketika kelahiran Jeanne, Raja Perancis Charles VI menderita ganguan jiwa dan dengan keadaannya tersebut, beliau tidak mampu  memerintah kerajaannya. Dua saudara raja, Duke John the Fearless dari Burgundi and Louis dari Orléans, bersengketa atas hak perwalian. Perselisihan ini meruncing dengan timbulnya tuduhan perselingkuhan Ratu Isabeau dari Bavaria dan penculikan terhadap anak-anak bangsawan, kemudian mencapai klimaksnya sewaktu John the Fearless memerintahkan pembunuhan atas Louis pada tahun 1407. Pihak-pihak yang setia pada kedua orang ini dikenal sebagai Armagnac dan Burgundian.
Raja Inggris, Henry V, mengambil kesempatan dari kekacauan ini untuk menguasai Perancis. Secara dramatis ia memenangkan pertempuran di Agincourt pada 1415, dan terus melanjutkan menguasai kota-kota di bagian utara Perancis. Calon raja Perancis, Charles VII, mendapatkan gelar putra mahkota (dalam bahasa Perancis: dauphin) pada umur empat belas tahun, setelah empat kakaknya meninggal. Tindakan resmi penting pertama yang dilakukannya adalah mengusulkan perjanjian damai dengan John the Fearless pada tahun. Proses ini berakhir dengan musibah sewaktu pendukung Armagnac membunuh Jean yang Tidak Mengenal Takut sewaktu berlangsungnya pertemuan yang dijamin oleh Charles. Duke Burgundi yang baru, Philip the Good, menyalahkan Charles, dan bersekutu dengan Inggris. Sebagian besar wilayah Perancis pun jatuh ke tangan Inggris.
Pada tahun 1420, Ratu Isabeau dari Bavaria mengadakan Perjanjian Troyes, yang menganugrahkan penerus tahta kepada Henry V dan keturunannya, dengan mengabaikan anaknya, Charles. Perjanjian ini menimbulkan isu bahwa sang dauphin adalah anak haram dan bukan anak sah dari raja. Henry V dan Charles VI meninggal dengan selisih waktu hanya dua bulan satu sama lainnya pada tahun 1422, dan meninggalkan sang bayi, Henry VI dari Inggris, sebagai pewaris kedua kerajaan. Saudara laki-laki Henry V, John dari Lancaster, Duke Bedford, bertindak sebagai wali sementara.
Pada tahun 1429, hampir seluruh bagian utara dan sebagian barat daya Perancis dikuasai oleh pihak asing. Inggris menguasai Paris sedangkan pihak Burgundi menguasai Reims. Reims adalah kota yang sangat penting, karena secara tradisi digunakan sebagai tempat penobatan (coronation) dan pentahbisan (consecration) raja, terutama karena belum ada satupun dari kedua pewaris tahta yang telah menerima mahkota. Inggris melakukan pengepungan terhadap Orléans, suatu kota yang terletak pada lokasi yang strategis di dekat sungai Loire, yang menjadikannya penghalang utama terakhir sebelum melakukan serangan untuk jantung Perancis lainnya. Menurut sejarawan modern, "Nasib Orléans menentukan nasib seluruh kerajaan." Tak ada seorangpun yang optimis bahwa kota ini dapat bertahan lama mengatasi kepungan tersebut.
.......................................................................................

Masa Kecil

Jeanne dilahirkan di Domrémy pada tahun 1412 dari Jacques d'Arc dan Isabelle Romée. Orang tuanya berasal dari keluarga petani. Ayahnya menduduki jabatan kecil di pemerintah daerah setempat dan bertugas mengumpulkan pajak serta mengepalai keamanan kota. Keluarga mereka tinggal disuatu daerah terisolasi di wilayah timur laut yang tetap setia pada Perancis walaupun dikelilingi oleh daerah kekuasaan Burgundi. Beberapa penyerangan terjadi pada masa kecil Jeanne, di mana pada salah satu serangan, desanya dibakar.
Jeanne mengaku bahwa ia mendapatkan pencerahan (vision) pertamanya sekitar tahun 1424. Menurutnya, St. Michael, St. Catherine, dan St. Margaret menyuruhnya mengusir Inggris dan membawa sang dauphin ke Reims untuk diangkat menjadi raja. Pada umur enam belas tahun, ia meminta salah seorang keluarganya, Durand Lassois, untuk membawanya ke Vaucouleurs. Ia meminta komandan garnisun setempat, Count Robert de Baudricourt, untuk memberinya izin mengunjungi balairung agung Perancis di Chinon. Jawaban sarkastik Baudricourt tidak menciutkan niat Jeanne. Ia kembali lagi pada bulan Januari dan berhasil mendapat dukungan dua orang: Jean de Metz dan Bertrand de Poulegny. Dengan dukungan mereka, ia berhasil memperoleh kesempatan kedua untuk bicara di mana ia berhasil membuat ramalan mengenai kekalahan di Pertempuran Herrings di dekat Orléans.
...............................................................

Awal Kejayaan

Baudricourt mengabulkan permintaan Jeanne untuk menemaninya mengunjungi Chinon setelah mendapat kabar bahwa ramalan yang dibuat Jeanne terbukti tepat. Jeanne menggunakan pakaian laki-laki sewaktu melakukan perjalanan berbahaya melalui wilayah Burgundi. Setelah tiba di balairung agung, ia berhasil meyakinkan Charles VII setelah melalui pembicaraan pribadi. Charles lalu memerintahkan pemeriksaan latar belakang dan teologis terhadap Jeanne di Poitier untuk memverifikasi moralitasnya. Selama proses tersebut, ibu mertua Charles, Yolande dari Aragon, mendanai ekspedisi penyelamatan terhadap Orléans. Jeanne meminta izin untuk berangkat bersama tentara dan mengenakan peralatan seorang ksatria (knight). Karena ia tak memiliki dana, Jeanne tergantung pada donasi untuk pengadaan baju zirah, kuda, pedang, pataka (banner), dan pengiringnya. Sejarawan Stephen W. Richey menjelaskan bahwa dia adalah satu-satunya harapan bagi rezim yang hampir runtuh.
Jeanne d'Arc tiba di lokasi pengepungan Orléans pada 29 April 1429. Jean d'Orléans (dikenal sebagai Dunois), kepala keluarga bangsawan Orléans, pada awalnya tidak melibatkan Jeanne dalam dewan perang dan tidak memberitahukannya jika pasukan menyerang musuh. Jeanne mengatasi hal ini dengan mengabaikan keputusan para komandan veteran dan turut serta dalam setiap penyerangan, dimana ia menempatkan dirinya pada garis depan dengan membawa patakanya. Pengaruh kepemimpinan militernya yang sebenarnya merupakan bahan perdebatan sejarah. Saksi mata melaporkan bahwa ia sering kali memberikan usulan yang cerdas dalam medan pertempuran, tapi pasukan dan komandannya terutama menghargainya terutama karena menganggap kemenangannya merupakan persembahan bagi Tuhan. Sejarawan tradisional, seperti Edouard Perroy, berpendapat bahwa Jeanne sebenarnya hanyalah pembawa bendera biasa yang pengaruh utamanya adalah sebagai pembangkit semangat. Analisa ini terutama bersumber pada pengakuan pengadilan, di mana Jeanne d'Arc menyatakan bahwa ia lebih memilih pataka dibandingkan pedangnya. Sejarawan modern, yang lebih terfokus pada pengadilan rehabilitasinya, lebih cenderung menyatakan bahwa para koleganya menghargainya sebagai perancang taktik dan stategi yang mahir. Stephen W. Richey menyatakan bahwa "Ia berhasil memimpin pasukan melalui rangkaian kemenangan yang luar biasa yang membalikkan keadaan peperangan." Walaupun ada dua pendapat tersebut, para sejarawan setuju bahwa pasukan Perancis berhasil mencapai kesuksesan di bawah kepemimpinannya.
.......................................................................................

Kepemimpinan

Jeanne d'Arc tidak menuruti strategi hati-hati yang sebelumnya menjadi ciri khas kepemimpinan pasukan Perancis. Sebaliknya, ia menerapkan penyerangan frontal terhadap benteng pertahanan musuh. Setelah beberapa pos pertahanan tersebut jatuh, pihak Inggris memfokuskan sisa pasukan mereka pada benteng dari batu (stone fortress) yang menjaga jembatan les Tourelles. Pada 7 Mei 1429, Perancis menyerang jembatan ini. Sejarawan modern mengakui kepahlawanan Jeanne dalam pertempuran ini, di mana pada suatu saat ia harus menarik keluar anak panah yang menancap di bahunya, dan dengan lukanya tetap kembali untuk memimpin penyerangan terakhir.
Kemenangan di Orléans ini membawa banyak kemungkinan aksi penyerangan. Pihak Inggris menduga bahwa Perancis akan mencoba untuk merebut Paris atau menyerang Normandia; Dunois mengakui bahwa sebenarnya itulah rencana awal mereka, sampai Jeanne berhasil meyakinkan mereka untuk sebaliknya menuju Reims. Sebagai hasil dari kemenangan yang tak disangka tersebut, Jeanne mendesak Charles VII untuk memberikan kekuasaan sebagai komandan pasukan, bersama dengan Duke John II dari Alençon, serta mendapat izin untuk menjalankan rencananya merebut jembatan-jembatan sepanjan sungai Loire sebagai upaya pendahuluan menuju Reims dan penobatan (koronasi). Rencana ini merupakan suatu rencana yang berani, mengingat Reims dua kali lebih jauh dibandingkan Paris, dan berada jauh di dalam wilayah musuh.

Pasukan Perancis merebut Jargeau pada 12 Juni, Meung-sur-Loire pada 15 Juni, lalu Beaugency pada 17 Juni 1429. John II menyetujui semua keputusan Jeanne. Para komandan lain, termasuk Jean d'Orléans, telah terpesona pada kemampuan Jeanne di Orléans, dan menjadi pendukungnya. Alençon berhutang budi pada Jeanne karena menyelamatkan nyawanya di Jargeau, di mana Jeanne memperingatkannya akan bahaya serangan artileri. Pada pertempuran yang sama, Jeanne berhasil menahan lemparan batu yang menimpa pelindung kepalanya (helmet) sewaktu ia menaiki tangga penyerangan (scaling ladder). Bala bantuan Inggris tiba di wilayah tersebut pada 18 Juni di bawah komando Sir John Fastolf. Pertempuran di Patay mungkin dapat dianggap sebagai kebalikan pertempuran Agincourt: Pasukan perintis (vanguard) Perancis menyerbu sebelum pasukan panah Inggris dapat menyiapkan pertahanan mereka. Timbul kekacauan yang menghancurkan pasukan utama Inggris dan menyebabkan sebagian besar komandannya terbunuh. Fastolf lolos dengan serombongan kecil pasukan dan dijadikan kambing hitam atas kekalahan Inggris ini. Di pihak lain, Perancis hanya menderita sedikit kerugian dari pertempuran ini.
Pasukan Perancis berangkat menuju Reims dari Gien-sur-Loire pada 29 Juni dan menerima status netral kota Auxerre yang dikuasai Burgundi melalui negosiasi pada 3 Juli. Semua kota sepanjang jalan menuju Reims menyerah tanpa syarat kepada pasukan Perancis. Troyes, tempat disepakatinya perjanjian yang berupaya menyingkirkan Charles VII, takluk setelah pengepungan empat hari, nyaris tanpa adanya pertumpahan darah.
Pasukan Perancis menderita krisis persediaan makanan pada saat mencapai Troyes. Edward Lucie-Smith mengutip bahwa hal ini merupakan contoh nyata bahwa Jeanne lebih tepat disebut "diberkati" dari pada dikatakan memiliki kemampuan. Seorang pendeta pengelana bernama Brother Richard telah berkhotbah akan datangnya akhir dunia di Troyes dan meyakinkan penduduk setempat untuk menanam kacang-kacangan (bean) yang memiliki masa panen pendek. Pasukan Jeanne tiba tepat saat panen tiba.
Reims membuka pintu gerbangnya pada 16 Juli, dan penobatan diadakan besok paginya, 17 Juli 1429. Walaupun Joan dan Duke Alençon mendesak untuk bergegas menyerang Paris, balairung agung memutuskan negosiasi gencatan senjata dengan Duke Burgundi. Terbukti kemudian Burgundi hanya menggunakan ini sebagai taktik penguluran waktu untuk mempersiapkan pertahanan Paris. Pasukan Perancis bergerak maju melalui kota-kota di dekat Paris dan menerima penyerahan damai dari kota-kota tersebut. Duke Bedford memimpin pasukan Inggris dalam perlawanan terhadap serangan Perancis pada tanggal 15 Agustus. Serangan Perancis terhadap Paris terjadi pada tanggal 8 September, di mana Jeanne, walaupun menderita luka panah di kakinya, meneruskan memimpin pasukannya hingga akhir hari. Pagi berikutnya, ia menerima perintah kerajaan untuk mundur. Banyak sejarawan menyalahkan grand chamberlain Georges de la Trémoille untuk kesalahan besar ini.
..................................................................................

Penangkapan dan Pengadilan

Setelah pertempuran kecil di La-Charité-sur-Loire pada bulan November dan Desember, Jeanne bertolak ke Lagny-sur-Marne pada bulan Maret, dan ke Compiègne pada 23 Mei 1430 untuk bertahan terhadap pengepungan pihak Inggris dan Burgundi. Pertempuran pada hari itu telah menyebabkan tertangkapnya Jeanne d'Arc. Sewaktu memerintahkan untuk mundur, sebagai kode kehormatan, ia bertahan sebagai orang terakhir yang meninggalkan pertempuran. Pihak Burgundi mengepung para pelindungnya.
Adalah suatu kebiasaan bagi keluarga tawanan perang untuk mengumpulkan uang tebusan jika diizinkan. Sayangnya, pihak Burgundi tidak mengizinkan tebusan untuk Jeanne. Banyak sejarawan yang menyalahkan Charles VII karena tidak mengupayakan hal tersebut. Jeanne beberapa kali mencoba untuk lari dari tahanan. Duke Philip dari Burgundi akhirnya menyerahkan Jeanne ke pemerintah Inggris. Bishop Pierre Cauchon dari Beauvais, seorang partisan Inggris dan anggota dewan yang mengawasi pendudukan Inggris di utara Perancis, memiliki peranan penting pada negosiasi ini dan juga pada pengadilan Jeanne.
Pengadilan Jeanne atas tuduhan bidah berbau politis. Duke dari Bedford mengklaim tahta Perancis bagi keponakannya, Henry VI. Jeanne dianggap bertanggung jawab atas penobatan rivalnya. Menyalahkan Jeanne adalah suatu upaya untuk menjatuhkan rajanya. Proses hukum dilangsungkan pada 9 Januari 1431 di Rouen, di wilayah pendudukan Inggris. Proses ini dianggap memiliki beberapa aspek yang tak lazim.
Untuk menyimpulkan beberapa masalah utama, Bishop Cauchon tidak memiliki yurisdiksi untuk bertindak sebagai hakim pada pengadilan tersebut. Penunjukannya lebih disebabkan karena dukungannya terhadap pemerintah Inggris yang membiayai keseluruhan proses pengadilan. Walaupun pihak penuntut, Nicolas Bailly tidak bisa mengumpulkan bukti-bukti yang memberatkan terhadap Jeanne, pengadilan tetap dilangsungkan.
Catatan pengadilan membuktikan intelektualitas Jeanne. Transkrip dialog yang terjadi mencerminkan hal tersebut. "Sewaktu ditanya apakah ia tahu bahwa ia berada dalam lindungan Tuhan (God's grace), ia menjawab: 'Jika tidak, semoga Tuhan menempatkan saya di sana; dan jika iya, semoga Tuhan tetap melindungi saya.'" Pertanyaan ini adalah jebakan. Doktrin gereja mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa yakin bahwa ia berada dalam lindungan Tuhan. Jika Jeanne menjawab iya, maka ia akan dituduh melakukan bidah. Jika tidak, maka ia mengakui kesalahannya. Boisguillaume belakangan bersaksi bahwa pada saat pengadilan mendengar jawaban ini, "Mereka yang menginterogasinya menjadi takjub" dan langsung menunda interogasi pada hari itu. Dialog ini menjadi terkenal dan digunakan pada banyak karya modern mengenai subyek ini.
Beberapa pejabat pengadilan belakangan bersaksi bahwa banyak bagian transkrip yang diubah untuk menjatuhkan Jeanne. Terjadi penekanan terhadap para petugas pengadilan, termasuk interogator, Jean LeMaitre. Beberapa orang bahkan sempat diancam akan dibunuh oleh pihak Inggris. Dalam pedoman interogasi, seharusnya Jeanne ditahan dalam penjara eklesiastik (agama) dalam pengawasan penjaga perempuan (yaitu biarawati). Sebaliknya pihak Inggris menahannya di penjara sekular (umum) yang dijaga oleh prajurit Inggris sendiri. Bishop Cauchon menolak permintaan banding Jeanne kepada Dewan Basel dan Paus, yang seharusnya akan dapat menghentikan proses pengadilan tersebut.
Dua belas tuduhan yang menyimpulkan temuan pengadilan bertolak belakang dengan isi catatan pengadilan. Jeanne yang buta huruf terpaksa menandatangani dokumen abjuration yang tidak ia mengerti dengan ancaman eksekusi langsung jika tidak menyetujuinya. Dalam catatan resmi, dokumen itu diganti oleh dokumen lain oleh pengadilan.
.............................................................................................

Eksekusi

Bidah hanya dianggap pelanggaran berat jika dilakukan berulang kali. Jeanne setuju untuk menggunakan pakaian perempuan. Beberapa hari kemudian, menurut saksi mata, ia mendapatkan percobaan perkosaan oleh seorang bangsawan Inggris di dalam penjara. Ia kemudian mengenakan kembali pakaian laki-laki sebagai perlindungan terhadap pelecehan seksual dan juga, menurut kesaksian Jean Massieu, karena pakaiannya telah dicuri dan ia tidak memiliki apa-apa untuk dikenakan.
Saksi mata menggambarkan suasana eksekusi pada 30 Mei 1431. Terikat pada tiang tinggi, ia meminta dua petugas, Martin Ladvenu dan Isambart de la Pierre untuk memegang salib di hadapannya. Ia berulangkali berkata dengan suara keras menyebut nama Yesus dan memohon dan berdoa tanpa henti untuk bantuan orang suci dari surga. Setelah meninggal, orang-orang Inggris membongkar arang dan menunjukkan tubuhnya yang telah hangus hingga memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengklaim bahwa ia selamat dari hukuman, lalu membakar ulang tubuhnya hingga menjadi abu dan mencegah pengumpulan relik. Mereka membuang abu tersebut ke sungai Seine. Belakangan, algojo Geoffroy Therage menyatakan bahwa ia sangat takut dikutuk karena ia telah membakar wanita suci.
...............................................................................

Pengadilan Ulang

Pengadilan ulang diadakan setelah perang berakhir. Paus Kallixtus III mengesahkan proses ini, yang sekarang dikenal sebagai "pengadilan rehabilitasi", atas permintaan Inquisitor-General Jean Brehal dan ibunda Jeanne, Isabelle Romée. Penyelidikan dimulai dengan pemeriksaan terhadap Guillaume Bouille. Brehal melakukan penyelidikan pada tahun 1452. Permohonan banding resmi diajukan pada November 1455. Proses ini melibatkan banyak pihak dari seantero Eropa dan mengikuti prosedur standar pengadilan. Panel ahli teologi menganalisis kesaksian dari 115 saksi mata. Brehal menyampaikan simpulan akhirnya pada Juni 1456, yang menggambarkan Jeanne sebagai seorang martir dan menuduh almarhum Pierre Cauchon dengan bidah karena telah menjatuhkan hukuman kepada perempuan yang tak berdosa demi balas dendam sekular. Pengadilan memutuskan Jeanne tak bersalah pada 7 Juli 1456.
.......................................................................................

Pengaruh Jeanne setelah Kematiannya

Perang Seratus Tahun berlanjut selama 22 tahun sejak kematian Jeanne. Charles VII berhasil mempertahankan legitimasinya sebagai raja Perancis walaupun pada Desember 1431 Henry VI dinobatkan juga pada ulang tahunnya yang ke sepuluh. Sebelum Inggris dapat membangun kembali militernya yang hancur pada tahun 1429, negeri itu kehilangan persekutuannya dengan Burgundi pada Perjanjian Arras pada tahun 1435. Duke dari Bedford wafat pada tahun yang sama sehingga menjadikan Henry VI raja termuda Inggris yang memerintah tanpa wali (regent). Perjanjian tersebut dan lemahnya kepemimpinan Henry VI mungkin merupakan faktor terpenting yang mengakhiri konflik. Kelly DeVries mengungkapkan argumentasi bahwa penggunaan artileri dan penyerangan frontal yang dilakukan Jeanne d'Arc memengaruhi taktik Perancis selama sisa perang.
Sumber utama informasi mengenai Jeanne adalah melalui catatan-catatan terpisah. Lima manuskrip asli dari pengadilannya ditemukan sekitar abad ke-19. Tak lama setelah itu, sejarawan juga menemukan catatan lengkap pengadilan rehabilitasinya, yang mengandung kesaksian di bawah sumpah dari 115 saksi berikut juga catatan asli dalam bahasa Perancis, terjemahan dari transkrip pengadilan awalnya. Berbagai surat juga berhasil ditemukan, tiga di antaranya mengandung tanda tangan "Jehanne" yang kelihatannya dibuat oleh tangan orang yang belajar menulis. Melimpahnya ketersediaan naskah sumber pertama yang tak lazim ini merupakan salah satu alasan DeVries mengatakan, "Tidak ada seorang pun dari Abad Pertengahan, baik laki-laki atau perempuan, yang menjadi subyek penelitian melebihi Jeanne d'Arc."
Ia datang dari desa terpencil dan menjadi terkenal sewaktu ia baru saja melepas masa kanak-kanaknya dan ia melakukan itu dengan status sebagai golongan petani yang tak berpendidikan. Raja-raja Perancis dan Inggris membuat pembenaran terhadap perang yang terjadi melalui perang interpretasi terhadap hukum Salic yang telah berumur ribuan tahun. Konflik yang terjadi adalah sengketa waris antara kedua monarki. Jeanne memberikan arti pada ketulusan, sehingga Jean de Metz berucap, "Haruskah raja diusir dari kerajaan; dan kita menjadi orang Inggris?" Meminjam kata-kata Stephen Richey, "Ia mengubah apa yang tadinya hanyalah sengketa antar dinasti yang membuat rakyat jelata tak tergerak, kecuali untuk kesengsaraan mereka sendiri, menjadi suatu perjuangan populer yang penuh semangat demi pembebasan negeri." Richey juga menggambarkan:
"Orang-orang yang yang datang lima abad setelah kematiannya berupaya untuk memberi segala macam cap pada dirinya: pengikut iblis, penyihir, boneka kekuasaan yang lugu dan tragis, pencipta dan simbol nasionalisme modern, pahlawan yang dicintai, orang suci. Ia bersiteguh, bahkan sewaktu diancam dengan siksaan dan dihadapkan pada kematian dengan dibakar, bahwa ia dibimbing oleh suara Tuhan. Benar atau tidak, apa yang dicapainya telah membuat siapapun yang mengetahui kisahnya akan menggelengkan kepala dengan penuh kekaguman."
Jeanne menjadi simbol Liga Katolik pada abad ke-16. Félix Dupanloup, uskup Orléans dari 1849 sampai 1878, memimpin suatu upaya yang berujung pada beatifikasi Jeanne pada 1909. Kanonisasi terhadap dirinya dilakukan pada 16 Mei 1920. Ia menjadi salah satu santa paling populer di gereja Katolik Roma.
Jeanne d'Arc bukanlan feminis. Ia bertindak dalam lingkup tradisi keagamaan yang mempercayai bahwa orang terpilih dari strata sosial manapun dapat memperoleh panggilan rohani. Ia mengusir perempuan dari tentara Perancis dan mungkin saja telah memukul seorang pengikut yang keras kepala dengan pedang. Walaupun demikian, beberapa penolong utama terhadapnya berasal dari perempuan. Ibu mertua Charles VII, Yolande dari Aragon, mengkonfirmasikan keperawanan Jeanne dan membiayai keberangkatannya ke Orléans. Joan dari Luxemburg, bibi dari Count dari Luxemburg yang menahan Jeanne di Compiègne, memperbaiki kondisi penahanannya dan kemungkinan telah menunda penjualannya ke Inggris. Terakhir, Anne dari Burgundi, istri dari wali Inggris, menyatakan bahwa Jeanne adalah seorang perawan sewaktu sidang pendahuluannya. Secara teknis, hal ini menghalangi pengadilan untuk menuduh Jeanne sebagai penyihir. Hal ini sedikit banyak kemudian juga menjadi dasar bagi pembersihan nama dan pengangkatan Jeanne menjadi santa. Kaum perempuan melihat Jeanne sebagai contoh positif perempuan yang keberanian dan keaktifan perempuan.
Jeanne d'Arc telah menjadi simbol politis di Perancis sejak zaman Napoleon. Kaum liberal menekankan pada asal keturunannya yang sederhana. Kaum konservatif awal menekankan pada dukungannya terhadap monarki. Kaum konservatif belakangan mengenang nasionalismenya. Selama Perang Dunia II, baik Vichy Regime maupun French Resistance menggunakan simbol dirinya: Vichy melakukan propaganda mengenang perjuangannya melawan Inggris dengan poster yang menunjukkan pesawat tempur Inggris membom Rouen dan tulisan "Mereka Selalu Kembali ke Tempat Mereka Melakukan Kejahatan." Kaum perlawanan menekankan penjuangannya melawan pendudukan asing dan daerah asalnya di Provinsi Lorraine, yang telah jatuh dalam kekuasaan Nazi.
Katolik tradisional, terutama di Perancis, juga menggunakannya sebagai sumber inspirasi, sering membandingkan ekskomunikasi yang dilakukan terhadap uskup agung Marcel Lefebvre (pendiri Society of St. Pius X dan penentang reformasi Vatikan II) dengan ekskomunikasi yang dilakukan terhadap Jeanne. Tiga kapal milik angkatan laut Perancis telah diberi nama dari namanya, termasuk satu helikopter pengangkut yang saat ini masih aktif bertugas. Saat ini, partai politik kontroversial Perancis, Front National, mengadakan pawai di patungnya, menggunakan figurnya dalam publikasi partai, serta menggunakan api triwarna, yang sebagian menyimbolkan pengorbanan Jeanne, sebagai lambang partai. Libur nasional Perancis untuk penghormatan dirinya diadakan pada hari Minggu kedua di bulan Mei.

..............................................................................
By Wikipedia